METODE SALAF DALAM MENERIMA ILMU BAGIAN Ke - 1

Oleh Syaikh Abdul Adhim Badawi

Allah berfirman, "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." [Al-Ahzab : 36]

Dari fenomena yang tampak pada saat ini, (kita menyaksikan) khutbah-khutbah, nasehat­nasehat, pelajaran-pelajaran banyak sekali, melebihi pada zaman para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tabi'in (orang-orang yang berguru kepada para sahabat) serta tabiit tabiin (orang-orang yang berguru kepada tabi'in). Namun bersamaan itu pula, amal perbuatan sedikit. Sering kali kita mendengarkan (perintah Allah dan Rasul-Nya) namun, sering juga kita tidak melihat ketaatan, dan sering kali kita mengetahuinya, namun seringkali juga kita tidak mengamalkan.

Inilah perbedaan antara kita dan sahabat-sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tabiin dan tabiut tabiin yang mereka itu hidup pada masa yang mulia. Sungguh pada masa mereka nasehat-nasehat, khutbah-khutbah dan pelajaran-pelajaran sedikit, hingga berkata salah seorang sahabat, "Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala memberikan nasehat mencari keadaan dimana kita giat, lantaran khawatir kita bosan." [Muttafaqun Alaihi]

Di zaman para sahabat dahulu sedikit perkataan tetapi banyak perbuatan, mereka mengetahui bahwa apa yang mereka dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam wajib diamalkan, sebagaimana keadaan tentara yang wajib melaksanakan komando atasannya di medan pertempuran, dan kalau tidak dilaksanakan kekalahan serta kehinaanlah yang akan dialami.

Para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu, menerima wahyu Allah 'Azza wa Jalla dengan perantaraan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sikap mendengar, taat serta cepat mengamalkan. Tidaklah mereka terlambat sedikitpun dalam mengamalkan perintah dan larangan yang mereka dengar, dan juga tidak terlambat mengamalkan ilmu yang mereka pelajari dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Inilah contoh yang menerangkan bagaimana keadaan sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala mendapatkan wahyu dari Allah 'Azza wa Jalla. Para ahli tafsir menyebutkan tentang sebab turunnya ayat dalam surat Al-Ahzab ayat 36 ini (dengan berbagai macam sebab) , saya merasa perlu untuk menukilnya, inilah sebab turunnya ayat itu :

Para ahli tafsir meriwayatkan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menginginkan untuk menghancurkan adanya perbedaan-perbedaan tingkatan (kasta) di antara manusia, dan melenyapkan penghalang antara fuqara (orang-orang fakir) dan orang-orang kaya. Dan juga antara orang-orang yang merdeka (yaitu bukan budak dan bukan pula keturunannya), dengan orang-orang yang (mendapatkan nikmat Allah 'Azza wa Jalla) menjadi orang merdeka sesudah dulunya menjadi budak.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin menerangkan kepada manusia bahwa mereka semua seperti gigi yang tersusun, tidak ada keutamaan bagi orang Arab terhadap selain orang Arab, dan tidak ada keutamaan atas orang yang berkulit putih terhadap yang berkulit hitam kecuali ketaqwaan (yang membedakan antara mereka). Sebagaimana firman Allah 'Azza wa Jalla, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal." [Al-Hujurat : 13]

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menanamkan dalam hati manusia mabda' (pondasi) ini. Dan barangkali, dalam keadaan seperti ini, perkataan sedikit faedah dan pengaruhnya, yang demikian itu disebabkan karena fitrah manusia ingin menonjol dan cinta popularitas. Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berpendapat untuk menanamkan pondasi ini dalam jiwa-­jiwa manusia dalam bentuk amal perbuatan (yang beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam wujudkan) dalam lingkungan keluarga serta kerabat beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini dikarenakan amal perbuatan lebih banyak memberi kesan dan pengaruh yang mendalam dalam hati manusia, dari hanya sekedar berbicara semata.

Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pergi kepada Zainab binti Jahsiy anak perempuan bibi beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam (kakek Zainab dan kakek Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sama yaitu Abdul Mutthalib seorang tokoh Quraisy) untuk meminangnya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin mengawinkannya dengan budak beliau Zaid bin Haritsah yang telah diberi nikmat Allah menjadi orang merdeka (lantaran dibebaskan dari budak). Lalu tatkala beliau menyebutkan bahwa beliau akan menikahkan Zaid bin Haritsah dengan Zainab binti jahsiy, berkatalah Zainab binti Jahsiy, "Saya tidak mau menikah dengannya". Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Engkau harus menikah dengannya". Dijawab oleh Zainab, "Tidak, demi Allah, selamanya saya tidak akan menikahinya".

Ketika berlangsung dialog antara Zainab dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Zainab mendebat dan membantah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian turunlah wahyu yang memutuskan perkara itu, "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." [Al-Ahzab : 36]

Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membacakan ayat tersebut kepada Zainab, maka berkatalah Zainab, "Ya Rasulullah ! apakah engkau ridha ia menjadi suamiku ?". Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Ya", maka Zainab berkata, "Jika demikian aku tidak akan mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, lalu akupun menikah dengan Zaid".

Demikianlah Zainab binti Jahsiy menyetujui perintah Allah dan RasulNya, dan hanyalah keadaannya tidak setuju pada awal kalinya, lantaran Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hanyalah menawarkan dan bermusyawarah dengannya. Maka tatkala turun wahyu, perkaranya bukan hanya perkara nikah atau meminang, setuju atau tidak setuju, tetapi (setelah turunnya wahyu), perkaranya berubah menjadi ketaatan atau bermaksiat kepada Allah dan RasulNya.

Tidak ada jalan lain didepan Zainab binti Jahsiy Radhiyallahu 'anha (semoga Allah meridhainya), melainkan harus mendengar dan taat kepada Allah dan RasulNya, dan kalau tidak taat maka berarti telah durhaka kepada Allah dan RasulNya, sedangkan Allah berfirman, "Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata." [Al-Ahzab : 36]

[Untuk Melanjutkan Ke Bagian - 2 , Klik Disini - Click Here]

Selengkapnya.....

METODE SALAF DALAM MENERIMA ILMU BAGIAN Ke - 2

Demikianlah , sikap para sahabat Nabi dahulu tatkala menerima wahyu dari Allah 'Azza wa Jalla, adapun kita (berbeda sekali), tiap pagi dan petang telinga kita mendengarkan perintah­-perintah serta larangan-larangan Allah dan Rasul-Nya, akan tetapi seolah-olah kita tidak mendengarkannya sedikitpun. Dan Allah Jalla Jalaluhu telah menerangkan bahwa manusia yang paling celaka adalah manusia yang tidak dapat mengambil manfaat suatu nasehat, Allah berfirman, "Oleh sebab itu berikanlah peringatan karena peringatan itu bermanfaat, orang yang takut (kepada Allah) akan mendapat pelajaran, orang-orang yang celaka (kafir) akan menjauhinya. (Yaitu) orang yang akan memasuki api yang besar (neraka). Kemudian dia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup." [Al-A'la : 9-13]

Dan Allah 'Azza wa Jalla menyebutkan keadaan orang munafik tatkala mereka hadir dalam majelis Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka hadir dengan hati yang lalai, seperti firman-Nya, "Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya), maka waspadalah terhadap mereka ; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?" [Al-Munafiqun : 4]

Lalu tatkala bubar dari majelis, mereka tidak memahami sedikitpun, Allah berfirman, "Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan perkataanmu sehingga apabila mereka keluar dari sisimu mereka berkata kepada orang yang lebih diberi ilmu pengetahuan (sahabat-sahabat Nabi) : 'Apakah yang dikatakan tadi ?' Mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka." [Muhammad : 16]

Takutlah terhadap diri-diri kalian ! (wahai hamba Allah), dari keadaan yang terjadi pada orang-orang munafik, berusaha dan bersemangatlah untuk bersikap sebagaimana para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketahuilah ! sebagaimana Allah 'Azza wa Jalla telah mencela orang-orang yang berpaling dan lalai, sungguh Allah 'Azza wa Jalla memuji orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu memahami seperti yang dimaksud oleh Allah 'Azza wa Jalla, lalu mengamalkannya, Allah 'Azza wa Jalla berfirman, "Sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hambaKu, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal." [Az-Zumar : 17­18]

Ketahuilah wahai hamba Allah yang muslim, bahwa tidak ada pilihan bagi kalian terhadap perintah Allah yang diperintahkan kepadamu ! tidak ada lagi pilihan bagimu ! baik engkau kerjakan ataupun tidak. Tidak ada lagi pilihan bagimu terhadap larangan Allah 'Azza wa Jalla yang engkau dilarang darinya ! baik engkau tinggalkan ataupun tidak ! Engkau dan apa yang engkau miliki semuanya adalah milik Allah 'Azza wa Jalla engkau hamba Allah, dan Allah 'Azza wa Jalla adalah tuanmu. Bagi seorang hamba, hendaknya mencamkan dalam dirinya untuk mendengar dan taat kepada perintah tuannya, sekalipun perintah itu nampak berat atas dirinya. Dan kalau tidak taat, tentu akan mendapatkan murka dari majikannya.

Dan Allah 'Azza wa Jalla telah meniadakan keimanan dari orang-orang yang tidak ridha dengan hukum-Nya dan tidak tunduk kepada Rasul-Nya dan perintah Rasul-Nya, Allah berfirman, "Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu'min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu'min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nayata." [Al-Ahzab : 36]

Sesudah itu, hendaklah anda (wahai para pembaca yang mulia) bersama dengan saya memperhatikan perbandingan ini :

Kita tadi telah mengatakan, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pergi ke Zainab binti Jahsiy Radhiyallahu 'anha untuk meminangnya bagi Zaid bi Haritsah. Awalnya Zainab menolak, karena pinangan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hanya bersifat menolong semata, (bukan perintah). Maka tatkala turun ayat, berubahlah perkaranya menjadi perintah untuk taat (kepada Allah dan Rasul-Nya). Tidak ada keleluasaan bagi zainab binti Jahsiy sesudah turunnya ayat itu, kecuali (harus) mendengar dan taat. Dan kalaulah perkaranya hanya menolong semata, tentu Zainab binti Jahsiy berhak menolak (jika tidak setuju), karena seorang wanita berhak memilih calon suami, sebagaimana lelaki memilih calon istri, dan inilah yang terjadi pada kisah Barirah :

Dan kisahnya Barirah adalah sebagaimana diriwayatkan Imam Bukhari, "Bahwa 'Aisyah Ummul Mu'minin Radhiyallahu 'anha membeli seorang budak bernama Barirah, lalu 'Aisyah memerdekakannya. Barirah ini mempunyai suami bernama Mughis (dan ia juga seorang budak). Maka tatkala dimerdekakan Barirah mempunyai hak untuk memilih, apakah ia tetap berdampingan dengan suaminya (yang seorang budak), atau bercerai. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan pilihan baginya. Ternyata Barirah memilih untuk bercerai dengan suaminya."

Adapun suaminya, sungguh sangat mencintainya dengan kecintaan yang sangat. Hingga tatkala Barirah memilih bercerai dengannya, ia berjalan-jalan di belakang Barirah di kampung-kampung kota Madinah dalam keadaan menangis. Maka tatkala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat keadaannya itu, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada paman beliau Abbas, "Tidakkah engkau heran terhadap kecintaan Mughis kepada Barirah ? sedang Barirah tidak menyukai Mughis ?" Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada Barirah, "Wahai Barirah, mengapa engkau tidak kembali kepada sumimu?" sesungguhnya ia adalah suamimu dan ayah dari anak-anakmu!" Maka Barirah berkata, "Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintah atau hanya mengajurkan saja ?"

Allahu Akbar !! perhatikanlah wahai para pembaca pertanyaan Barirah ini !! Wahai Rasulullah, apakah engkau memerintah ? Sehingga aku tidak berhak menyelisihi perintahmu ? atau engkau hanya menganjurkan saja sehingga aku boleh berpendapat dengan pikiranku? Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Aku hanya mengajurkan saja !". Barirah berkata : "Aku tidak membutuhkan suamiku lagi !!"

Disini kami berkata : "Pertama kali Zainab binti Jahsiy menolak untuk menikah dengan Zaid bin Haritsah, karena masalahnya hanyalah anjuran semata, maka tatkala turun wahyu perkaranya berubah menjadi ketaatan atau maksiat."

Zainab binti Jahsiy berkata, "Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam apakah engkau meridhai aku menikah dengannya ?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab, "Ya". Jika demikian aku tidak akan mendurhakai Allah dan Rasul-Nya.

Dan juga terhadap Barirah, tatkala Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menawarkan agar ia kembali kepada suaminya, ayah dari anak-anaknya yang tidak dapat bersabar untuk berpisah dengannya, Barirah meminta penjelasan : "Apakah engkau menyuruhku wahai Rasulullah ?" Sehingga tidak ada keleluasaan bagiku kecuali harus mendengar dan taat ? Maka tatkala Rasulullah bersabda, "Aku hanya menganjurkan", berkatalah Barirah : "Aku tidak membutuhkannya lagi".

Demikianlah adab para Sahabat terhadap Allah dan Rasul-Nya, serta beragama karena Allah dan Rasul-Nya dengan sikap mendengar dan taat, maka Allah menguasakan kepada mereka dunia ini, dan masuklah manusia ditangan mereka kepada agama Allah secara berbondong-bondong. Adapun kita, tatkala tidak beradab kepada Allah dan Rasul-Nya, kita bimbang dan menimbang-­nimbang antara perintah dan larangan-larangan-Nya (kita kerjakan atau tidak kita kerjakan), maka jadilah keadaan kita ini sebagaimana yang kita saksikan saat ini, maka demi Allah, kepada-Nya-lah kalian mohon pertolongan, wahai kaum muslimin !

Allah berfirman, "Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepadaNya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi)." [Az-Zumar : 54] dan juga firman-Nya, "Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung." [An-Nuur : 31]

[Disalin dari Majalah Adz-Dzkhiirah Al-Islamiyah Edisi : Th. 1/No. 04/ 2003 - 1424H Hal. 1-3, Diterbitkan : Ma'had Ali Al-Irsyad Jl. Sultan Iskandar Muda 46 Surabaya]

Selengkapnya.....

NASEHAT BAGI PENUNTUT ILMU UNTUK MENETAPI KEBENARAN DAN KESABARAN BAGIAN Ke - 2

Kalau disebutkan permasalahan ilmu maka harus pula disebutkan tentang pokok dan peringatan–peringatan yang berhubungan dengan masalah ini. Dalam hal ini, ada dua hal yang sangat penting :

    1. Hendaknya Memiliki Semangat Yang Tinggi Dalam Menuntut Ilmu Dan Istiqomah Karena kebanyakan manusia menyangka bahwa menuntut ilmu hanya terbatas pada selesainya masa belajar di sekolah, ma’had, universitas, atau markaz selama satu, dua atau lima tahun. Ini adalah kesalahan yang fatal karena ilmu tidak akan berakhir kecuali dengan hilangnya ruh dari jasad, betapa banyak para salaf mengatakan, “Amat merugi apabila matahari terbit sedang aku tidak menambah ilmu". Lihatlah Imam Ahmad, beliau selalu membawa kertas dan pena-nya, kadang kala beliau mengajar, kadang pula belajar. Beliau adalah sosok yang ‘alim, tetapi masih menyempatkan diri untuk belajar pada orang lain. Pada suatu hari beliau membawa barang kebutuhannya, kemudian dikatakan, "Wahai Abu Abdillah, sampai kapankah engkau menuntut ilmu ?” Beliau menjawab, “Menuntut ilmu itu dari buaian sampai masuk ke liang lahat (beliau mengulanginya dua kali)". Terus–menerus dan istiqomah karena kebutuhan manusia terhadap ilmu jauh lebih besar dibandingkan kebutuhannya terhadap makanan dan minuman, bisa jadi kebutuhanmu terhadap makanan atau minuman dalam sehari cukup satu atau dua kali. Berbeda dengan kebutuhanmu terhadap ilmu, kadang engkau membutuhkannya sebanyak dua puluh kali, lima puluh kali, bahkan lebih dalam sehari. Di rumah engkau butuh ilmu, di pasar engkau butuh ilmu, bermu’amalah engkau butuh ilmu, bahkan ketika menghadapi musuhmu pun engkau butuh ilmu; semakin berkurangnya ilmu (akan menyebabkan) semakin bertambahnya kebodohan, kejelekan, serta musibah yang akan menimpamu.
    2. Hendaknya Beradab Dalam Menuntut Ilmu. Ilmu itu butuh adab yang menyertainya dan sopan santun yang menjaganya, perilaku baik yang akan mengangkat derajatnya. Jangan sampai ilmu itu menyebabkan jeleknya adab, kemarahan, kekerasan dan kurang ajar terhadap sesama penuntut ilmu, lebih–lebih seorang murid dengan gurunya. Maka seorang murid wajib untuk beradab terhadap gurunya sekalipun ia mendapatkan kesalahan padanya dan sang murid menyangka bahwa dirinyalah yang benar, meski demikian hendaklah ia tetap menjaga adabnya baik dalam berkata, mengungkapnya dengan bahasa yang halus serta melembutkan perkataannya. Demikian juga ketika mengkritik guru hendaknya dengan penuh adab sehingga gurunya mau kembali (kalau memang dia benar dan gurunya yang salah) sehingga ia dapat mengambil faedah di antara dua keadaan ini. Al–Imam Asy–Syafi’i terkadang menjadi guru bagi Imam Ahmad dan di lain waktu beliau menjadi murid Imam Ahmad. Mereka berdua layaknya sahabat yang saling belajar dan mengajar satu dengan lainnya, serta saling mengambil faedah antara keduanya sampai–sampai Imam Syafi’i pernah berkata kepada Imam Ahmad, “Wahai Imam Ahmad, engkau lebih tahu tentang masalah hadits, jika engkau mendapati hadits shahih maka kabarkanlah kepadaku supaya kita mengetahuinya dan bisa mengamalkannya.” Kadang kala beliau meminta Imam Ahmad agar mengajari beliau, sampai–sampai orang saat itu mengatakan kepada beliau bahwa Imam Ahmad mengunjungimu demikian pula sebaliknya. Kemudian beliau berkata, “Tempatku tidak membedakan kedudukan, jika dia mengunjungiku maka itu merupakan keutamaannya, dan jika aku mengunjunginya itu karena kemuliaannya.” Inilah adab dalam berilmu yang seharusnya dimiliki oleh para penuntut ilmu sebagaimana yang telah diterapkan oleh para ulama, bukan seperti yang disangka sebagian manusia, padahal mereka baru mendapatkan sebagian ilmu atau baru mempelajari satu bab dari bab–bab ilmu lalu menyangka bahwa mereka telah mendapatkan dan menguasai seluruh ilmu dari awal hingga akhir, padahal merekalah orang yang paling bodoh–wal ‘iyadzu billah–jangan sampai keadaan kita seperti mereka. Kalau mereka kehilangan adab dalam berilmu, maka lebih dari itu mereka kehilangan sesuatu yang paling penting dari arti sebuah ilmu. Wahai saudaraku, Semoga Alloh meneguhkanmu, tidakkah engkau mengetahui sabda Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam “Dua hal yang tidak akan berkumpul pada diri seorang munafik, yaitu baiknya adab dan faqih dalam masalah agama.” Tidaklah baik akhlaq ini kecuali dengan baiknya adab, lemah lembut dan sopan santun yang tinggi. Orang itu kita ukur dari ilmu dan kedudukannya dalam meraih ilmu, dan bila keduanya hilang maka hampir–hampir cahaya ilmu itu lenyap dari dirinya, dan Alloh akan melenyapkan keutamaan ilmu dari dirinya sebagai balasan yang setimpal terhadap perbuatannya karena meremehkan ilmu, meremehkan ahlu ilmi baik dari kalangan sejawatnya, guru–gurunya atau yang lainnya.

Dan aku akan mempermisalkan antara ilmu dan adab sebagaimana keserasian antara ikhlas dan ittiba’. Antara ilmu dan adab bagaikan ruh dan jasad, maka tidak ada ruh kecuali dengan jasad dan dia tidak akan berfungsi kecuali dengan jasad, begitu pula jasad tidak akan bergerak kecuali dengan ruh. Jikalau permasalahan demikian (keterikatan ilmu dan adab) maka perlu kiranya diperhatikan masalah–masalah yang berkaitan dengan dua hal tadi, saya akan memaparkan beberapa contoh:

  1. Lemah Lembut Dalam Penyampaian. Rasulullah Shalallohu ‘alaihi wa salam bersabda, "Tidaklah sikap lemah lembut ada pada sesuatu melainkan akan menghiasinya dan tidaklah sikap lemah lembut itu dicabut kecuali akan membuatnya menjadi jelek.” [Hadits Riwayat. Muslim 2584, Abu Dawud 2477]. Dan di Hadits yang lain Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya Alloh Maha Lemah Lembut lagi mencintai kelembutan dan Dia memberikan kelemah lembutan tidak seperti dia memberikan kekasaran.” [Hadits Riwayat. Muslim 2593, bersumber dari Aisyah Radhiyallohu ‘anha]. Coba perhatikan kisah Mu’adz bin Jabal Radhiyaallohu ‘anhu tatkala beliau mengimami shalat jama’ah lalu beliau memanjangkan shalatnya yang menyebabkan salah satu makmum keluar, lalu sampailah berita tersebut kepada Rasulullah Shalallohu 'alaihi wa salam maka beliau bersabda : “Sungguh ada golongan di antara kalian yang membuat manusia lari". Coba amatilah siapa mereka ??. Tidak sangsi lagi mereka adalah sahabat Rasulullah yang paling mulia, paling agung dan paling antusias dalam menapaki sunnah Rasulullah Shalallohu 'alaihi wa salam mereka pula orang yang terbaik setelah para nabi dan rasul, lalu bagaimana dengan orang–orang selain mereka ??. Oleh karena itu wajib atas para da’i untuk memiliki sikap lemah lembut dalam berdakwah dan memiliki adab baik dalam hal pembicaraan ataupun penyampaian. Jangan sampai tertipu oleh was–was syetan sehingga ia merasa bangga tatkala menggunakan kekerasan, ini semua termasuk tipu daya syetan. Bagaimana tidak ?. Rasulullah Shalallohu 'alaihi wa salam telah bersabda, "Dan tidaklah seseorang rendah hati karena Alloh akan mengangkat derajatnya.” [Hadits Riwayat Muslim 2588, Tirmidzi 2029, Malik 1885, Ash–Shahihah 2328. bersumber dari Abu Hurairah].
  2. Termasuk Perkara Ilmu (yakni) Masalah Khilafiyah. Maka selayaknya bagi orang yang berselisih antara satu dengan yang lainya di dasari dengan ilmu (Al–Qur’an dan As–Sunah) dengan di barengi sikap lemah lembut, kasih sayang serta keinginan yang kuat dalam mencari kebenaran. Alangkah indahnya apa yang telah di contohkan oleh Imam Syafi’i ketika beliau mengatakan, "Tidaklah aku berdebat dengan seorangpun melainkan aku memohon kepada Alloh untuk menampakan kebenaran pada lisanya (lawan debatku)”. Disebutkan di dalam sebuah kitab, Imam Syafi’i berkata, "Tidaklah aku membantah seorangpun melainkan aku berharap ia di beri petunjuk, hidayah dan di beri pertolongan" [Lihat Faidhul Qadir 3/90 dan Shafwatush Shafwah 2/251]. Mengapa … ?, karena Rasullulah bersabda, "Tidaklah sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” [Hadits Riwayat Bukhari 13, Muslim 45 bersumber dari sahabat Anas].


Maka tatkala terjadi diskusi ataupun adu argumen dalam masalah fiqhiyah yang masih di perselisihkan di kalangan ulama, tidak selayaknya bagi seseorang di antara mereka mengatakan, “Sayalah yang menang dalam perdebatan ini”, karena yang lain pun akan mengatakan, “Justru kamulah yang mubtadi" karena kamu menyelisihi saya dan begitulah seterusnya, mereka berdebat layaknya pegulat dan petinju yang sedang bertanding, seakan–akan kunci sunnah berada di tangannya dan terbatas pada golongannya. Ini semua termasuk kebatilan yang sangat nampak dan tipu daya serta kesesatan yang nyata, akan tetapi tatkala perselisihan itu di kembalikan kepada para ulama yang mumpuni dan tahu betul mengenai permasalahan ini dengan detail niscaya akan terselesaikan dengan baik. Namun lain halnya tatkala seseorang di ajak berdiskusi secara ilmiah, di sampaikan dalil–dalil di sertai sikap lemah lembut dan adab yang baik, tetapi dia masih bersikeras (keras kepala) dan sombong (tidak mau menerima kebenaran) maka ini merupakan pembahasan yang lain dan bukan sekarang waktu yang tepat untuk membahasnya, karena kita masih dalam fase thalibil dan belum waktunya untuk berdebat, menegakan hujjah, serta membid’ahkan orang lain.

Pembantahan ini tersendiri dan pembahasan yang lain pun tersendiri pula (karena setiap tempat ada pembicaraanya dan setiap pembicaraan ada tempatnya, dengan kata lain proposional atau menempatkan sesuatu pada tempatnya dalam segala hal).

Di antara hal–hal yang sangat disayangkan adalah timbulnya fitnah tabdi’ (mem-vonis seseorang sebagai ahli bid’ah) dan yang lebih parah lagi adalah munculnya berbagai macam tuduhan yang batil dalam rangka pembelaan dan mengalahkan serta meruntuhkan di dalam permasalahan khilafiyah di antara ahli fiqh pada masa dahulu dan masa kini, sebagaimana yang telah keluar dari lisan–lisan para pemuda yang terlalu bersemangat dan tergesa–gesa tanpa disertai ilmu dan adab serta kelemah lembutan.

Dan termasuk perkara yang paling parah dari hal di atas, timbulnya fitnah saling menghajr dan mentahdzir antar sesama dan bersikap loyal kepada orang–orang yang sepaham dengan dia, berlepas diri terhadap orang–orang yang tidak sepaham dengan dia (dan di antara ucapan mereka sebagai berikut), "kamu jadi temanku jika kamu sepaham denganku, dan apabila tidak maka kamu jadi musuhku, kemudian saya akan terapkan wala’ wal bara’ kepadamu."

"Sikap ini semua akibat jeleknya pemahaman, dangkalnya kefaqihan dan jauhnya dari taufiq Alloh. Alangkah benarnya ucapan seseorang, Apabila seseorang tidak mendapatkan pertolongan Alloh maka pasti pertama kali dia akan berhukum dengan ijtihadnya semata."

Maka kelompok–kelompok di atas muncul dari ijtihad mereka yang keliru dengan sangkaan itu semua adalah haq, padahal tidak ada benarnya sedikitpun.

Adakah di dalam sirah para ulama dan fuqaha ataupun keterangan–keterangan yang datang dari para ulama yang telah di akui keilmuanya, akan adanya permusuhan, hajr (pemboikotan, red) di dalam masalah fiqh serta permasalahan ilmiah yang lain, yang di situ masih diperselisihkan.

Bukankah umumnya kitab fiqh terdapat berbagai macam pendapat, lalu mengapa kita jadikan permasalahan fiqh sebagai sarana untuk saling menjauhi, menghina, menghajr di antara kita. Wal’iyadzu billah. Aduhai, alangkah indahnya jika hajr di barengi dengan hajr yang indah, lemah lembut, (agar ummat bisa mengambil pelajaran), sebagaimana firman Alloh, "Dan jauhilah mereka dengan cara yang baik." [Al–Muzzammil : 10].

Akan tetapi, hajr mereka sangat hina, jelek, menakutkan, buruk, kotor. Dan sangat di sayangkan, hajr mereka di sertai dengan kedustaan, buruk sangka, sikap memecah belah, di sertai pula kebatilan dalam berbagai bentuk yang sangat jelek, seakan–akan pintu taubat, perdamaian, rujuk (kembali kepada alhaq) serta diskusi ilmiah telah tertutup baginya. Sehingga kita dengar tuduhan mereka, "Kami bid’ahkan kamu ! Dan kami hajr kamu dan tidak ada pintu kembali bagi kamu kecuali kamu itu sama persis seperti kami", bagaikan lembaran foto copy : “Wal–‘iyadzu billah”

Beginikah akhlaqnya ulama ?, Seperti inikah adabnya ahlu ilmi ?, Jika kamu berselisih tentang agama, maka berlaku lembutlah kepadanya dan nasehatilah dia serta tempatkanlah dirimu pada tempat yang semestinya.

Maka sekali lagi, apabila engkau berselisih dengan saudaramu maka datangilah dia supaya permasalahan itu menjadi baik, jelas dan gamblang. Akan tetapi, kami tetap berkeinginan keras hendaknya semua itu sesuai dengan kacamata Sunnah dan kami tetap berharap supaya Sunnah tidak dijadikan sarana untuk berpecah belah, saling meng-hajr, serta bermusuhan yang itu semua kita saksikan, dampak–dampak negatifnya berupa buruk sangka, kurang tabayyun (klarifikasi), perpecahan, berbicara sembarangan, semua itu adalah sebuah realita yang sangat nampak di tengah masyarakat kita saat ini.

Sungguh sangat disesalkan, kadang kala ada kelompok yang sembilan puluh persen bersama kita, tetapi sepuluh persen bersama kita, tetapi sepuluh persen lainnya merusak. Mereka ingin menang sendiri, sehingga mereka menjauh. Mereka berusaha merusak yang lain, mengajak keluar, ingin mengambil alih kekuasaan yang bukan haknya dan menyuruh manusia agar jauh dari petunjuk. Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman, "Katakanlah : “Apakah akan kami beritahukan kepadamu tentang orang–orang yang paling merugi perbuatannya ?” Yaitu orang–orang yang telah sia–sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik–baiknya.” [Al–Kahfi: 103–104]

Dan sebagian besar orang–orang yang memiliki sifat ini, jika memang mereka bertauhid, mengikuti Sunnah, dan penuntut ilmu–walaupun mereka menyelisihi dan mencerca–kita tidak menyerang mereka sebagaimana mereka menyerang kita, akan tetapi kita bersabar, mengharap balasan yang terbaik dan mendo‘akan mereka serta mendekat kepada mereka. Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman, "Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali–kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Alloh, Rabb seru sekalian alam.” [Al – Ma’idah : 28]

Ini adalah akhlaq yang mulia dan bimbingan serta adab yang terpuji yang wajib kita miliki untuk mempergauli mereka sehingga mendekatkan kepada kebenaran. Kita tidak membuat mereka lari sebagaimana mereka membuat kita lari. Kita tidak menjauhi mereka sebagaimana mereka menjauhi kita. Kita tidak menuduh (memvonis) mereka sebagai ahli bid’ah sebagaimana mereka memvonis kita. Dan kita tidak menghajr sebagaimana mereka meng-hajr kita.

Alangkah indahnya wasiat Umar bin Khaththab Radhiyallohu ’anhu dan dengan ini saya menutup nasehat saya untuk pertemuan kali ini dengan perkataan beliau, "Tidak ada balasan yang terbaik bagi orang yang berbuat jelek kepada kamu, melainkan kamu membalasnya dengan hal yang lebih baik dari itu.”

[Disalin dari Majalah Al-Furqon Edisi 8 Tahun V/Rabi’ul Awwal 1427H/April 2006. Dengan Judul Nasehat Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari Hafizhahullah. Penerbit Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon, Alamat Maktabah Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim 61153, Judul artikel oleh Redaksi Almanhaj]


Selengkapnya.....

NASEHAT BAGI PENUNTUT ILMU UNTUK MENETAPI KEBENARAN DAN KESABARAN BAGIAN Ke - 1

Alhamdulillah pada tanggal, 15–19 Muharram 1427 H atau bertepatan 14–18 Februari 2006 M daurah syar’iyyah para da’i kembali diadakan oleh Ma’had Ali Al–Irsyad di Surabaya yang bekerjasama dengan Markaz Imam Al–Albani Yordania. Hadir dalam kesempatan kali ini Syaikh DR. Muhammad Bin Musa, Syaikh Salim Bin I’ed. Pada edisi kali ini, sebagai bentuk penyebaran ilmu, kami angkat muhadharah ilmiyyah Syaikh Ali Hasan ketika beliau berkunjung ke Ma’had kami (Ma’had Al-Furqon) pada tanggal, 18 Muharram 1427 H. Semoga bermanfaat.

Segala puji hanya milik bagi Allah Jalla Jalaluhu, kita memujiNya, meminta pertolonganNya, memohon ampunanNya dan kita meminta perlindungan kepadaNya dari kejelekan diri dan amal kita. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah Jalla Jalaluhu maka tidak ada seorang pun yang dapat menyesatkannya, dan barang siapa yang disesatkanNya, maka tidak ada seorang pun yang dapat memberi petunjuk. Aku bersaksi tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah Jalla Jalaluhu, tiada sekutu bagiNya, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alahi wa sallam adalah hamba dan utusanNya.

Sesungguhnya sebaik–baik pembicaraan adalah Kalamullah dan sebaik–baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam dan sejelek–jelek perkara adalah menambah–nambah dalam urusan agama dan setiap perkara baru dalam agama adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat dan setiap kesesatan nerakalah tempatnya.

Lalu aku memuji kepada Alloh Jalla Jalaluhu yang telah memberikan taufiq-Nya kepada kita dalam perjalanan kunjungan ilmiah yang berkelanjutan setiap tahunnya ke negeri kalian yang indah ini, yang kami perhatikan adanya sambutan yang hangat untuk menerima kebenaran dan sangat berantusias untuk menimba ilmu agama. Kami pun memperhatikan adanya sambutan yang penuh adab, kelembutan dan rasa santun yang layak disandang oleh para penuntut ilmu.

Oleh karena itu kita mohon pertolongan kepada Alloh Jalla Jalaluhu semoga menambahkan kepada kita semangat dan melipatgandakan pahala.

Kita memohon kepada Alloh Jalla Jalaluhu (pujian penuh barakah) semoga Alloh Jalla Jalaluhu memudahkan kita dalam pertemuan ini di madrasah dan ma’had kalian ini, dalam rangka saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran dan juga saling mengingatkan antara kita semua karena memang orang muslim itu (memiliki sifat) saling menasehati, sedangkan sifat orang munafik saling mengkhianati.

Dalam rangka memenuhi permintaan saudaraku Al–Ustadz Aunur Rofiq, semoga Alloh Jalla Jalaluhu senantiasa menolongnya dan semoga kebenaran selalu menyertai-Nya, dan dalam rangka mengamalkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Agama adalah nasehat, agama adalah nasehat, agama adalah nasehat.” Tamim Ad–Dari Rhadhiyallahu ‘anhu bertanya : “Wahai Rasulullah ! untuk siapa ?” Beliau menjawab : “Untuk Alloh, untuk RasulNya, untuk kitabNya, untuk para pemimpin kaum muslimin, dan untuk seluruh kaum muslimin.”

Dan dalam rangka memenuhi undangan pertemuan ini sekaligus untuk menyampaikan beberapa untaian nasehat. Kita memohon kepada Alloh Jalla Jalaluhu agar anak–anakku, saudara–saudaraku yang hadir di majelis ini dapat mengambil faedah dan manfaatnya.

Pertama :

Yang ingin aku ingatkan dalam rangka saling menasehati dan saling berwasiat, untuk menetapi kebenaran dan kesabaran adalah masalah ikhlas.

Ikhlas merupakan rahasia (diterimanya) ibadah. Kita sering melihat amalan seseorang yang begitu tekun, begitu bersungguh–sungguh, baik dalam mengeluarkan shadaqah atau pun infak akan tetapi itu semua jadi bumerang baginya (tidak mendapatkan pahala). Alloh Jalla Jalaluhu berfirman, "Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” [Al–Furqan : 23]

Setiap amalan yang tidak ikhlas, bukan saja amalan tersebut tidak bermanfaat bagi pelakunya tetapi juga menjadi bencana dan bahaya yang akan menimpa pelakunya. Alloh Ta’a la berfirman, "Padahal mereka tidak disuruh kecuali menyembah Alloh dengan memurnikan ketaatan kepadaNya (dalam menjalankan agamaNya dengan lurus)." [Al–Bayyinah : 5]. Ikhlas merupakan cahaya yang memberikan petunjuk dan menyinari pelakunya menuju jalan keselamatan serta mendekatkan diri kepada Alloh Jalla jalaluhu.

Untuk mewujudkan keikhlasan membutuhkan ketekunan, kesabaran serta kesungguhan, sebab menanamkan keikhlasan bukanlah perkara yang mudah karena setan selalu mengawasi gerak–gerik manusia. Alloh Jalla Jalaluhu berfirman, "Iblis menjawab : “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba–hambaMu yang mukhis di antara mereka.” [As–Shad : 82–82]

Yang dinamakan mukhlis adalah orang yang dikokohkan keikhlasan dan kemurnian niatnya serta kesucian hatinya menuju Rabbul Bariyyah, Yang Maha Mulia dalam ketinggian serta Agung, berada di atas ‘Arsy). Alloh Jalla Jalaluhu berfirman, "Dan orang–orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami benar–benar akan tunjukkan jalan–jalan tersebut." [Al–Ankabut : 69]

Perjalanan hidup manusia dalam beramal, kadang kala diliputi oleh rasa ikhlas dan jujur untuk melawan tipu daya setan, yang mana (setan) tersebut selalu menghiasi amalannya yang tidak ikhlas dibuat seperti amalan yang ikhlas.

Demikian juga sebaliknya kadang kala setan menghiasi amalan orang yang ikhlas dibuat seperti amalan orang yang tidak ikhlas sehingga membuat dia berhenti dari beramal dan tidak beristiqomah.

Oleh karena itu, orang yang benar–benar memiliki kejujuran (dalam beribadah) kepada Alloh Jalla Jalaluhu, akan tetapi konsisten dalam beramal dan mampu menghalau tipu daya setan dengan melawan kecenderungan hawa nafsunya yang selalu mengarah kepada kejelekan. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam dalam hadits qudsi, Alloh Jalla Jalaluhu berfirman, "Aku sesuai dengan persangkaan hambaKu terhadap diriKu." [HR. Bukhari 7405 Muslim 6952 ; bersumber dari Abu Hurairah Rhadhiallahu ‘anhu].

Maka berprasangka baiklah kepada Alloh Jalla Jalaluhu dan peruntukkanlah semua amal kebaikanmu hanya kepada Alloh Jalla Jalaluhu semata. Perangilah was–was setan dan hawa nafsumu, niscaya Alloh Jalla Jalaluhu akan menolongmu.

 

Kedua :

Yang ingin saya uraikan kepada anak–anak dan saudara–saudaraku adalah perihal, “Berpegang teguh kepada Sunnah Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam yang suci lagi mulia” dan hal itu merupakan salah satu syarat diterimanya amal seorang hamba, karena amal tidak akan diterima kecuali memenuhi dua syarat, sebagaimana seekor burung tidak akan terbang kecuali dengan dua sayap.

Syarat yang pertama adalah Ikhlas, adapun syarat kedua adalah ittiba’ (mengikuti Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam), kedua syarat tersebut merupakan wujud realisasi dari kalimat syahadah “Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah

Adapun maknanya adalah “laa ma’buuda bihaqqin illalloh” (tidak ada sesembahan yang benar kecuali Alloh Jalaalahu) dan kalimat “Muhammad Rasulullah” adalah “Laa matbuu’a bihaqqin illa Rasulullah” (tidak ada seorang pun yang patut diikuti kecuali Rasulullah).

Alloh Jalla Jalahu berfirman ketika menyifati diriNya, "Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” [Al–Mulk : 2]

Berkata Fudhail Bin Iyadh : “Yang dimaksud dengan ‘ahsanu amalan’ adalah amalan yang paling ikhlas dan paling baik.  Mereka mengatakan : “Wahai Abu ‘Ali (ini merupakan kunyah beliau pada saat itu), apa yang dimaksud dengan amalan yang paling ikhlas dan paling baik ?” Beliau menjawab : “Amalan yang paling ikhlas adalah amalan yang diperuntukkan hanya kepada Alloh semata dan amalan yang paling baik adalah amalan yang sesuai dengan Sunnah Rasulullah.”

Sunnah yang mulia ini merupakan petunjuk menuju jalan Alloh yang lurus. Bagaimana tidak ? Alloh telah mengaitkan hidayah seorang hamba yang ia selalu minta kepadaNya pada setiap siang dan malam tidak kurang dari 17 kali tatkala ia mengucapkan’ ihdinash shirotol mustaqim’ (tunjukilah kami kepada jalan yang lurus) maka Alloh telah mengaitkan bukti wujud hidayah seorang hamba dengan mengikuti Sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam dalam firmanNya, "Dan jika kalian menaatinya (Rasul) niscaya kalian akan mendapatkan hidayah.” [An– Nur : 54]

Jika kalian mengikuti Sunnahnya, melaksanakan perintahnya dan menjadikannya sebagai suri tauladan maka kalian akan mendapatkan petunjuk dan keselamatan. Sungguh, Alloh telah berfirman dalam kitab-Nya, "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Alloh dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Alloh.” [Al–Ahzab : 21]

Oleh karena itu, Alloh mengaitkan bukti cinta terhadapNya dengan mencintai Rasulullah Sholallohu ‘alaihi wa salam dan mengaitkan seluruh kecintaan ini dalam bentuk mengikuti Sunnah Rasulullah. Alloh Jalla jalaluhu berfirman, "Jika kamu benar–benar mencintai Alloh maka ikutilah aku, niscaya Alloh akan mengasihimu.” [Ali Imron : 1]

Inilah timbangan yang benar dalam hal kecintaan. Tidaklah bukti cinta kepada Rasulullah Shalallohu ‘alaihi wa salam hanya melibatkan perasaan semata, tanpa dibarengi dengan amalan yang benar serta ittiba’ yang kokoh.

Memang benar, cinta itu melibatkan perasaan dan harapan, akan tetapi seluruhnya tidak bernilai benar, kecuali dengan ber–qudwah dan mengikuti Rasululloh Shalallohu ‘alaihi wa salam sepenuhnya, sehingga bentuk kecintaan kita kepada Rasulullah Shalallohu ‘alaihi wa salam merupakan wujud kecintaan kita kepada Alloh, sedangkan cinta kepada Nabi Shalallohu ‘alaihi wa salam adalah dengan mengikuti Sunnahnya.

 

Ketiga :

Nasehat yang ingin saya wasiatkan kepada saudaraku, karena hal ini merupakan perkara yang sangat fundamental dan mendasar sekali, yaitu yang berkenaan dengan arti pentingnya ilmu, bagaimana antusias kita dalam menuntutnya, mengamalkannya, serta mendakwahkannya.

Pada dasarnya, setiap hamba muslim adalah da’i menuju Alloh, sehingga seluruh kehidupannya dicurahkan untuk memurnikan keikhlasan kepada Alloh dan berittiba’ kepada Rasulullah Shalallohu ‘alaihi wa salam kesemuanya itu tidak akan terwujud kecuali dengan adanya ilmu, belajar dan mengajar. Ibnu Hajar telah menjelaskan hadits pertama dari Shahih Bukhari yang berbunyi, “Sesungguhnya amal perbuatan tergantung pada niatnya dan seseorang akan mendapatkan apa yang ia niatkan.” [HR. Bukhari 1, bersumber dari Umar Bin Khaththab]

Beliau menjelaskan, hadist ini merupakan dalil yang yang menunjukkan bahwa ilmu itu mendahului niat. Kalau engkau tidak mengetahui apa yang akan engkau katakan atau yang akan engkau kerjakan, bagaimana engkau bisa memurnikan dan membedakan niat ? Hal itu dikuatkan dengan firman Alloh, "Ketahuilah bahwa tidak illah yang haq disembah melainkan Alloh, maka mohonlah ampunan bagi dosamu.” [Muhammad : 19]

Al–Imam Bukhari menjadikan ayat ini pada salah satu bab dalam kitab Shahihnya. Beliau berkata “Bab Ilmu sebelum berkata dan berbuat”, kemudian beliau mengomentari ayat tersebut : “Maka Alloh Jalla Jalaluhu telah memulai dengan ilmu sebelum berucap dan beramal.”

Berilmulah, wahai saudaraku ! Dan jadikanlah tujuan kalian dalam menuntut ilmu, mencari keridhaan Alloh Jalla Jalaluhu, jujur dan kembali kepadaNya. Janganlah engkau jadikan tujuan menuntut ilmu dalam rangka membantah ulama, menonjolkan diri dalam majelis, bersaing dan pamer kepada khalayak ramai. Rasulullah Shalallohu ‘alaihi wa salam bersabda, "Barang siapa menuntut ilmu untuk membodohi orang, atau menantang para ulama, atau mencari perhatian manusia, maka dia masuk neraka.” [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Muqaddimah 253, dan dishahihkan Al–Albani lihat Al–Misykat 225–226 ; bersumber dari sahabat Ibnu Umar Rhadiyallahu ‘anhu]. Hadits ini merupakan peringatan keras bagi orang yang tidak ikhlas dalam menuntut ilmu, serta tujuannya dalam menuntut ilmu tidak dalam rangka mencari keridhoan Alloh Jalla Jalaluhu.

Sebagaimana yang telah saya sampaikan sebelumnya, bahwa syetan selalu mengintai dan membisikkan kepadamu untuk tidak berbuat ikhlas kepada Alloh Jalla Jalaluhu, maka janganlah engkau menggubrisnya dan upayakanlah dirimu untuk senantiasa ikhlas dalam segala hal, utamanya menuntut ilmu, oleh karena itu teruslah menuntut ilmu !.

Berkata Sufyan Ats–Tsauri : “Dulu kami menuntut ilmu untuk selain Alloh tetapi ilmu itu enggan kecuali hanya untuk Alloh Jalla Jalaluhu.” Maknanya, jiwa itu selalu memiliki tuntutan serta keinginan, terlebih lagi ketika menginjak usia muda dan memasuki usia remaja, jiwa ini memiliki keinginan dan dorongan yang sangat kuat untuk melakukan berbagai macam perkara sesuai dengan kadar kejahilannya, atau ilmu yang dimiliki serta keikhlasan kepada Rabbnya serta keikhlasan kepada Rabbnya serta rasa ittiba’nya kepada Rasulullah Shalallohu ‘alaihi wa salam.

[Untuk Melanjutkan Ke Bagian Ke - 2, Klik Disini - Click Here]

Selengkapnya.....

AKHLAK SALAF CERMIN AL-QURAN DAN AS-SUNNAH BAG. I

Barangsiapa merenungi Kitabullah dan senantiasa berhubungan dengannya, maka akan mendapatkan kemuliaan akhlak. Dan barangsiapa yang mengkaji sunnah-sunnah Nabi, yaitu perjalanan hidup Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan hadits-haditsnya, akan mendapatkan dan memahami kemuliaan akhlak dan keagungannya. Untuk itulah Allah kembali menegaskan kemuliaan akhlak itu pada akhir Surat Al-Furqan Allah berfirman, "Dan hamba-hamba yang baik dari Rabb Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang yang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka. Dan orang-orang yang berkata : 'Ya Rabb kami, jauhkan adzab jahannam dari kami, sesungguhnya adzabnya itu adalah kebinasaan yang kekal'. Sesungguhnya jahannam itu seburuk-buruk tempat menetap dan tempat kediaman. Dan apabila orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) ditengah-tengah antara yang demikian. Dan orang-orang yang tidak menyembah Ilah yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barangsiapa yang melakukan demikian ini, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa (nya)". [Al-Furqan : 63-68]

Maksudnya, barangsiapa menyekutukan Allah atau membunuh jiwa dengan tanpa alasan, atau melakukan perzinaan, maka akibat perbuatannya itu dia akan mendapatkan dosa, yaitu siksaan yang besar. Lalu Allah menjelaskannya dengan ayat-ayat berikut ini, "(Yakni) akan dilipat gandakan adzab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam adzab itu, dalam keadaan terhina". [Al-Furqan : 69]. Mereka berada dalam siksaan, kecuali, "Kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shalih ; maka mereka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan orang yang bertaubat dan mengerjakan amal shalih, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya". [Al-Furqan : 70-71]

Ini semua cerminan dari akhlak Ahlul Iman laki-laki dan wanita. Kemudian Allah melanjutkan firman-Nya, "Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu". [Al-Furqan : 72]

"Laa yasyhadun" (tidak memberikan persaksian) dalam ayat di atas maksudnya yaitu "la yahdhurun" (tidak melakukan). Adapun yang dimaksud dengan "Az-Zuur" (palsu, dusta) yaitu kebathilan dan kemungkaran dari berbagai bentuk kemaksiatan dan kekafiran. Ahlul Iman adalah mereka mereka yang tidak memberikan persaksian palsu, bahkan mereka adalah orang yang mengingkari serta memeranginya.

Allah berfirman yang artinya : "Dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan­perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya". [Al-Furqan : 72]

Lebih dari itu, Ahlul Iman akan menolak perbuatan yang tidak mendatangkan faedah, sebagaimana firman Allah berikut, "Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata : 'Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu..." [Al-Qashash : 55], dan yang artinya : "Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Rabb mereka, mereka tidaklah mengahadapinya sebagai orang-orang yang tuli dan buta". [Al-Furqan : 73], bahkan mereka mengahadapinya dengan khusyuk serta menerima sepenuhnya terhadap Allah dan sekaligus mengagungkan-Nya. Inilah sifat mukminin dan mukminat apabila diingatkan dengan ayat-ayat Allah mereka nampak khusyuk dan lembut hatinya serta mengagungkan Rabbnya bahkan menangis lantaran rasa takut kepada-Nya. Mereka melakukan itu karena mengharap pahala dari-Nya dan takut akan siksa-Nya.

Allah berfirman, "Dan orang-orang yang berkata : 'Ya Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa". [Al-Furqan : 74].

Ini semua merupakan sifat-sifat mukminin dan mukminat, mereka adalah Ibadurrahman (Hamba­hamba Allah) yang hakiki lagi sempurna.

Qurratul 'Ain (penyejuk mata) adalah manakala engkau melihat anak-anakmu, baik laki-laki atau perempuan semuanya melaksanakan amal shalih. Kata-kata "al-walad" secara umum mencakup laki-laki dan wanita. Anak laki-laki sering dipanggil dengan sebutan ibnu, sedang perempuan dipanggil dengan bintu.

Demikian pula kata-kata "dzurriyah" yang mencakup laki-laki dan juga perempuan. Hal ini sebagai mana tersebut dalam hadist, "Apabila anak Adam (manusia) meninggal, terputus amalnya kecuali tiga perkara ; shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan atau anak shalih yang mendo'akannya".

Anak atau al-walad, termasuk di dalamnya adalah anak laki-laki atau perempuan, hal ini sebagaimana penjelasan di depan. Allah mempertegas hal ini dalam firman-Nya, "Ya Rabb kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami)...." [Al-Furqan : 74], Yakni, dzurriyah (generasi) yang menyejukkan pandangan mata. Hal itu disebabkan karena kondisi anak keturunan yang taat kepada Allah dan istiqamah di atas syari'at-Nya. Demikianlah kondisi kehidupan suami istri, seorang suami misalnya, apabila melihat istrinya taat kepada Allah, maka pastilah sejuk matanya (senang hatinya). Demikian pula istri, apabila melihat suaminya taat kepada Allah tentulah senang hatinya. Ini terjadi manakala istri adalah sosok wanita mukminah. Suami yang shalih adalah penyejuk mata bagi istrinya, demikian pula istri shalihah adalah penyejuk mata bagi suaminya yang mukmin. Generasi yang baik (dzuriyatan thayyibah) adalah penyejuk mata bagi ayahnya, ibunya dan seluruh kerabat mukminin dan mukminat.

Allah berfirman, "Dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertaqwa". [Al-Furqan : 74]. Imam bagi orang-orang yang bertaqwa, yakni ; imam dalam kebaikan yang mampu membimbing manusia. Kemudian Allah menegaskan balasan yang bakal diperoleh mereka, yaitu seperti firman Allah, "Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam jannah)". [Al-Furqan : 75]

Ghurfah adalah jannah. Disebut ghurfah karena ketinggiannya, sebab ia berada di tempat yang sangat tinggi, yaitu di atas langit dan di bawah 'Arsy. Jannah itu berada di tempat yang sangat tinggi, oleh karena itu Allah berfirman, "Mereka itulah orang-orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam jannah)". [Al-Furqan : 75]. Ghurfah (balasan yang tinggi) yakni, al-jannah. Hal ini diperoleh karena kesabaran mereka (bimaa shabaruu). Maksudnya adalah kesabaran dalam mentaati Allah, kesabaran menahan yang diharamkan Allah dan kesabaran atas musibah yang menimpa. Ketika mereka menerima dengan sabar, maka Allah membalasi mereka dengan al-jannah yang tinggi dan agung. Manakala mereka sabar menunaikan kewjibannya terhadap Allah, sabar terhadap yang diharamkan Allah, sabar menerima musibah yang memedihkan, misalnya ; sakit, kemiskinan dan selainnya, maka Allah akan membalasi mereka dengan sebaik-baik balasan.

Allah berfirman, "Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam jannah), karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Jannah itu sebaik-baik tempat menetap dan tempat kediaman". [Al-Furqan : 75-76]

Inilah cerminan sifat-sifat Ahlul Iman yang utuh, baik kalangan laki-laki atau wanita. Mereka pula yang Ahlus Sa'adah wan Najah (pemilik kemuliaan dan kesuksesan). Di dalam Al-Qur'an Allah Subhanahu wa Ta'ala banyak menyebutkan sifat-sifat mukminin dan mukminat serta akhlak mereka yang mulia. Di antaranya sebagaimana tersebut dalam surat Al-Baqarah, Allah berfirman, "Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta ; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat dan menunaikan zakat ; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya) ; dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa". [Al-Baqarah : 177]

Inilah keadaan orang-orang yang bertaqwa dari baik laki-laki maupun perempuan. Allah telah menjelaskan sifat-sifat mereka dalam ayat yang mulia ini, seperti dalam firman Allah, "..... akan tetapi sesungguhnya kebaktian itu ialah beriman kepada Allah ..". Makna ayat ini adalah pemilik kebajikan yaitu orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi. Iman kepada Allah dalam pengertian, Allah sebagai Rabb dan Ilah yang Maha Suci lagi Maha Agung. Mereka juga mengimani Allah sebagai tempat pengabdian yang sebenar-benarnya, bahwa sesungguhnya Allah adalah Dzat Pencipta, dan Dzat Pemberi rezeki. Dialah yang Maha Suci dan disifati dengan Asma'ul Husna dan sifat-sifat yang tinggi. Tidak ada yang sebanding dengan-Nya, tidak ada tandingan bagi-Nya. Dialah yang Maha Sempurna dalam dzat, dalam sifat-sifat, dalam nama-nama dan dalam perbuatan-Nya. Dialah dzat yang tidak terdapat pada-Nya kekurangan dari berbagai seginya, bahkan Dialah yang mempunyai kesempurnaan yang mutlak dari berbagai segi.

Allah berfirman, "Katakanlah : 'Diallah Allah, Yang Maha Esa'. Allah adalah Ilah yang bergantung kepada-Nya segala urusan. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia". [Al-Ikhlas : 1-4]

[Untuk Melanjutkan ke Bagian Ke - 2, Klik Disini - Click Here]

Selengkapnya.....

AKHLAK SALAF CERMIN AL-QURAN DAN AS-SUNNAH BAG. II

Beriman kepada Hari Akhir, artinya ialah ; beriman kepada hari kebangkitan setelah kematian. Pada hari itu, dunia lenyap dan datang berganti dengan hari akhir, yaitu Hari Kiamat. Pada hari itu, kiamat pasti datang dan hamba-hamba Allah pasti akan dibangkitkan sebagaimana firman-Nya, yang artinya : "Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat". [Al-Mukminun : 16-17] dan yang artinya : "Dan sesungguhnya hari kiamat itu pastilah datang, tak ada keraguan padanya ; dan bahwasanya Allah membangkitkan semua orang di dalam kubur". [Al-Hajj : 7]

Yaumul Akhir adalah hari perhitungan dan pembalasan, jannah dan naar, pemberian buku catatan dari sebelah kanan atau sebelah kiri, diangkatnya timbangan dan ditimbangnya perbuatan-perbuatan. Setelah semuanya usai, maka manusia akan menuju dua tempat, yaitu jannah atau naar. Adapun kaum mukminin maka mereka memasuki jannah dengan rasa bahagia dan mulia. Tetapi orang-orang kafir akan memasuki naar dengan adzab yang menghinakan. Kita memohon keselamatan kepada Allah.

Berkenan dengan keimanan terhadap Malaikat, maka kita mengimani bahwa Malaikat adalah makhluk yang taat kepada Allah, dia adalah pasukan Allah dan utusan penghubung antara Allah dengan hamba-hamba-Nya dalam menyampaikan perintah dan larangan-Nya. Allah menjelaskan sifat Malaikat dalam firman-Nya, yang artinya : "Mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan". [At-Tahrim : 6]

Allah mencipta Malaikat dari cahaya dan mereka senantiasa melaksanakan perintah-perintah-Nya. Allah berfirman, Artinya : "Maha Suci Allah. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu) adalah hamba-hamba yang dimulyakan, mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya. Allah mengetahui segala sesuatu yang dihadapan mereka (malaikat) dan yang dibelakang mereka, dan mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang-orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya". [Al-Anbiya' : 26­28]

Allah Azza wa Jalla juga berfirman berkenan dengan mereka (malaikat), "Mereka tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan". [At-Tahrim : 6]

Berkenan dengan iman kepada Al-Kitab, maka maksudnya adalah iman kepada kitab yang diturunkan dari langit. Yang paling agung di antara kitab yang ada adalah Al-Qur'an Al-Karim. Para Ahlul Iman mempercayai semua kitab telah Allah turunkan kepada para nabi terdahulu. Kitab yang terakhir, teragung, termulia adalah Al-Qur'an Al-Adzim yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Inilah konsekuensi sebagai mukminin, mereka mengimani semua para nabi dan rasul serta membenarkannya. Nabi yang paling akhir adalah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, dialah penutup para nabi dan sekaligus nabi yang paling afdhal.

Disamping itu, seorang mukmin dituntut menyedekahkan harta yang dicintainya. Dan inilah makna firman Allah, "Memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya ....". [Al-Baqarah : 177]

Para ahlul iman, mereka menginfakkan harta yang dicintainya kepada fuqara dan masakin kerabat dekat atau selainnya, berinfak di jalan kebaikan dan jihad terhadap musuh-musuh Allah. Beginilah ahlul iman dan kebaikan, mereka menginfakkan harta bendanya di jalan kebaikan.

Pada ayat lain Allah juga berfirman, "Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, sedang mereka berdo'a kepada Rabbnya dengan rasa takut dan harap, dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka". [As-Sajdah : 16], yang artinya : "Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman diantara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar". [Al-Hadid : 7].

Pada ayat lain, yaitu Surat Al-Baqarah : 177, Allah berfirman, "... dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya ....". [Al-Baqarah : 177], makna ayat tersebut ialah bahwa mereka menginfakkan harta mereka untuk beberapa bentuk kebaikan, yaitu untuk kerabat dekat, anak-anak yatim, orang-orang fakir, orang-orang miskin bukan dari kerabat dekat dari kalangan orang-orang lemah, untuk Ibnu Sabil, yaitu orang yang melewati negeri asing yang tidak memiliki kecukupan nafkah. Sa'ilun atau orang yang meminta­minta, yaitu orang yang meminta-minta kepada manusia lantaran kebutuhan yang mendesak atau karena kemiskinannya. Bisa juga berarti peminta-minta yang belum diketahui keadaannya. Maka kepada mereka perlu dikasih bantuan guna menutup keadaan mereka yang kekurangan.

Allah berfirman, "... memerdekakan hamba sahaya ....." [Al-Baqarah : 177], maknanya : Menginfakkan hartanya untuk memerdekakan hamba sahaya atau memerdekakan budak, perempuan-perempuan, memerdekakan atau menebus para tawanan. Kemudian Allah berfirman, "...menegakkan shalat dan membayar zakat ....", maknanya : Sesungguhnya orang-orang beriman itu menegakkan shalat dan membayar zakat.

Menjaga shalat tepat waktunya sebagaimana disyari'atkan Allah dan membayar zakat sebagaimana yang diatur oleh Allah. Allah berfirman, "Dan orang-orang yang memenuhi janjinya apabila berjanji". (Yaitu apabila berjanji memenuhi janji itu dan tidak udzur terhadap janjinya).

Kemudian Allah berfirman pula, "Dan orang-orang yang sabar dalam al-ba'su, adh-dhara' dan hina al-ba'si". Artinya sabar dalam keadaan perang. Dimana Allah memuji mereka dalam firman-Nya, "Mereka itu adalah orang-orang yang benar dan mereka itu adalah orang-orang yang bertaqwa". [Al-Baqarah : 177]

Mereka itu adalah Ahlush Shidqi (orang yang benar) karena telah mewujudkan keimanannya dengan amal yang baik dan mewujudkan ketaqwaannya kepada Allah Azza wa Jalla.

Disebutkan pula sifat-sifat lain dari sifat Ahlus Shidqi sebagaimana tertera dalam Surat Al-Anfal, Al-Bara'ah dan Surat Al-Mukminun. Allah berfirman, "Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya". [Al-Mukminun : 1-2]

Pada tempat yang lain, Allah menyebutkan sifat-sifat orang beriman dan kemuliaan akhlaknya. Barangsiapa mengamati Al-Qur'an Al-Karim dan senantiasa berhubungan dengannya, niscaya akan mendapatkan sifat-sifat tersebut. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, "Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran".[Shad : 29].

Di Surah yang lain Allah berfirman, "Sesungguhnya Al-Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus". [Al-Isra : 9], "Katakanlah ; 'Al-Qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman". [Fushilat : 44], "Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an ataukah hati mereka terkunci". [Muhammad : 24].

[Disalin dari buku Akhlaqul Mukminn wal Mukminat, dengan edisi Indonesia Akhlak Salaf, Mukminin & Mukminat oleh Syaikh Abdul Azin bin Abdullah bin Baaz, terbitan Pustaka At-Tibyan, penerjemah Ihsan]

Selengkapnya.....

BAGAIMANAKAH SALAF DALAM MENJAGA NIAT MEREKA SERTA KEINGINAN KUAT MEREKA UNTUK MENDO'AKAN SAUDARA-SAUDARANYA?

Pertanyaan :

Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily ditanya : Jazakumullohu khairan atas nasihat ini, sekarang kami merasa sangat kurang dalam usaha untuk mendamaikan antara ikhwah apalagi dalam berdoa untuk kebaikan mereka, terutama mendoakan orang yang menyelisihi kami agar mendapatkan hidayah, juga masalah niat, terkadang ketika menasehati, kami tidak ikhlas karena Allah tapi karena tujuan duniawi, maka apakah nasihat Anda pada kami, dan bagaimanakah Salaf dalam menjaga niat mereka serta keinginan kuat mereka untuk mendoakan saudara-saudaranya ?

Jawaban :

Wajib bagi setiap muslim untuk mengikhlaskan niatnya karena Allah dalam amalannya, manusia dalam setiap amalannya bertujuan untuk mewujudkan keselamatan dirinya. Sebelum kita berusaha untuk mendamaikan dan memberikan petunjuk (hidatul irsyad) pada manusia, kita harus berusaha menyelamatkan diri kita, dan ini tidak bisa kita lakukan kecuali dengan mengikhlaskan niat karena Allah semata serta menginginkan wajah Allah di setiap amalan kita, juga merasa bahwa Allah senantiasa mengawasi kita, mungkin manusia tidak tahu niat kita karena niat itu tersembunyi, sehingga kita bisa membohongi diri kita dan manusia dengan memperlihatkan nasihat, padahal Allah mengetahui apa yang ada dalam hati kita, seperti firman Allah, "Dan apa yang kalian perlihatkan serta sembunyikan dalam diri kalian, Allah akan hisab kalian." (Al-Baqarah : 284), maka wajib atas setiap muslim untuk mengikhlaskan niatnya.

Wajib atas setiap muslim untuk tidak bermaksiat terhadap Allah di bumi-Nya, dan senang bila tidak ada penyimpangan di muka bumi dan tidak boleh gembira dengan penyimpangan orang lain. Karena jika kita cinta kepada Allah, tentu senang jika Allah ditaati dan tidak dimaksiati, dan ini pada setiap orang, ketika kamu cinta pada seseorang, tentu kamu tidak senang jika dia berbuat maksiat dan dibicarakan kejelekannya, tapi jika kita senang dengan kesalahan orang lain maka ini bukan nasihat karena Allah, karena seorang mukmin senang jika Allah ditaati dan tidak dimaksiati, sampai orang Yahudi dan Nasrani pun kita senang jika mereka beriman.

Karena itu kita harus tamak untuk memberi hidayah kepada manusia, lebih-lebih pada ikhwah kita. Oleh karena itu Abdullah bin Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata pada ayahnya: "Wahai ayahku, saya senang jika saya dan ayah dimasak dalam kuali yang mendidih di jalan Allah", artinya keduanya dimasukkan dalam kuali yang penuh minyak atau air yang mendidih sehingga badan mereka pun hancur di jalan Allah, dan ini adalah nasihat karena Allah. Demikianlah kewajiban setiap muslim untuk mengikhlaskan amalannya karena Allah.

Termasuk dari contoh kekuatan nasihat dan ikhlas pada sejarah Salaf, apa yang terjadi pada Ali radhiyallahu anhu dalam perang tanding sebelum dimulainya peperangan, beliau mengalahkan lawannya dan menjatuhkannya ke tanah, ketika beliau hendak memukulnya dan membunuhnya dengan pedang, orang itu meludahi muka beliau, maka beliau pun tidak jadi membunuhnya, lantas ditanya mengapa anda tidak membunuhnya. Jawab beliau : "Tadinya saya ingin membunuhnya karena Allah, tapi orang itu meludahi saya, sehingga saya pun marah, saya takut jika saya membunuhnya karena kepentingan pribadi (bukan karena Allah)", lihat bagaimana salaf menahan diri, ini adalah taufik dari Allah yang tidak akan didapatkan kecuali dengan muroqobah (merasa diawasi oleh) Allah sehingga bisa menahan diri dengan baik. Ini semua berasal dari kekuatan ikhlas karena Allah. Ketika Allah tahu kejujuran niat dan keikhlasannya, Allah pun melindunginya dari segala sesuatu.

Maka dari itu sangat sulit bagi seseorang untuk mengambil sikap dan menghadirkan niatnya dalam keadaan seperti ini. Lihatlah ! Beliau tidak senang untuk membunuh orang kafir itu setelah beliau mampu mengalahkannya padahal beliau dalam keadaan jihad. Salah seorang dari kita bisa saja untuk mengatakan: saya membunuh karena Allah, padahal pada dirinya ada niat lain yang tersembunyi, dia membunuhnya kerena kepentingan pribadi. Maka merupakan keharusan bagi kita untuk mengikhlaskan niat karena Allah serta mendoakan saudara-saudara kita, dan memohonkan bagi mereka hidayah, di waktu kita shalat malam dan pada waktu-waktu dikabulkannya doa, juga menjadikan maksud kita setiap berbicara dan berbuat hanya karena Allah semata, kita ikhlas ketika berbicara, ikhlas ketika diam, ikhlas ketika uzlah (mengasingkan diri), sehingga dalam keadaan bagaimanapun kamu dalam kebaikan yang agung (besar). Adapun jika kita kehilangan niat ikhlas mudah-mudahan Alah melindungi kita darinya, walaupun kita berbicara haq, memberi nasihat dan Allah damaikan dengan sebab kita, serta terwujud kebaikan, sementara orang-orang memuji kita, maka amalan kita akan sia-sia, karena tidak terpenuhi niat yang ikhlas. Kita ambil pelajaran dari sebuah hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:

Sesungguhnya pada hari kiamat nanti Allah turun pada hamba-Nya untuk memutuskan, dan seluruh manusia berlutut, orang yang pertama kali dipanggil adalah orang yang membaca Al-Quran, orang yang beperang di jalan Allah, dan orang yang mempunyai banyak harta. Allah berfirman kepada pembaca Al-Quran: bukankan Aku telah ajarkan padamu apa yang Aku turunkan pada Rasul-Ku? jawab orang itu: benar ya Robbi, firman-Nya: "apa yang kamu amalkan? orang itu menjawab: saya membacanya siang malam, firman-Nya: bohong.!! Kata malaikat: kamu bohong!! firman-Nya: kamu membacanya karena ingin disebut qori, dan telah dikatakan padamu. Kemudian didatangkan orang yang mempunyai banyak harta, Allah berfirman padanya: bukankan Aku telah meluaskan rizkimu sehingga kamu tidak butuh pada seorangpun? jawabnya: benar ya Robbi, firman-Nya : Lantas apa yang kamu amalkan dengan pemberianku itu?, jawabnya: dulu saya menyambung silaturahmi dan bersedekah, firman-Nya: kamu bohong!!, kata malaikat: kamu bohong!!, firman-Nya: kamu berinfaq karena ingin disebut dermawan dan telah dikatakan padamu. Kemudian didatangkan orang yang terbunuh di jalan Allah, Allah berfirman padanya: Apa yang kamu perangi? Jawabnya: Saya diperintahkan untuk berjihad di jalan-Mu, saya pun berperang hingga terbunuh, firman-Nya: kamu bohong!!, kata malaikat: kamu bohong!!, firman-Nya: kamu berperang karena ingin disebut pemberani dan telah dikatakan padamu.. Berkata Abu Hurairah radhiyallahuanhu, kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memukul lututnya seraya bersabda: Tiga orang ini adalah makhluk yang neraka disulut pertama kali untuk mereka.

Kaum Salaf sangat berkeinginan untuk memberi hidayah pada manusia, dan bahkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah teladan yang pertama dalam hal ini. Saya akan menceritakan pada kalian sebuah contoh dari sejarah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam : Abdullah bin Ubay adalah termasuk orang yang paling banyak menyakiti Nabi shallallahu alaihi wasallam. Ketika dia mati, anaknya, yaitu Abdullah bin Abdullah bin Ubay radhiyallahuanhu (dan dia adalah seorang sahabat) datang pada Nabi shallallahu alaihi wa sallam agar Nabi shallallahu alaihi wasallam memohon ampun untuk ayahnya, Nabipun bergegas untuk memohonkan ampun baginya, tapi Umar radhiyallahu anhu melarang beliau, kemudian Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda : "Aku dilarang untuk memohonkan ampun mereka sebanyak tujuh puluh kali, maka aku akan mohon lebih dari tujuh puluh kali", kemudian turunlah ayat, yang artinya : "Janganlah kalian menshalati orang yang mati dari mereka selamanya, dan jangan kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya, sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik." [At-Taubah: 84] [Lihat Shahih Bukhari 1/427 no. 1210 dan Shahih Muslim 4/1865 no. 2400.]

Lihatlah bagaimana keinginan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, pada seorang munafik yang menyakiti beliau dan menghalang-halangi dakwah beliau, beliau katakan: "Akan saya mohonkan ampunan beginya lebih dari tujuh puluh kali", karena besarnya keinginan beliau shallallahu alaihi wasallam untuk memberikan hidayah kepada manusia dan ini adalah termasuk nasihat karena Allah Taala.

Yang perlu kita garis bawahi adalah sabda beliau shallallahu alaihi wasallam, waqad qiila", ini menunjukkan bahwa kebanyakan yang dikatakan di dunia sebagai alim atau dermawan atau pemberani tidak menginginkan wajah Allah, kita takut atas diri kita, terkadang orang mengatakan tentang kita: fulan alim, atau fulan ahlussunnah, dan Allah tahu hati kita, maka kita wajib untuk menyadari dalam keadaan ini, karena jika niat dimasuki riya akan dikatakan pada kita di hadapan seluruh makhluk (pada hari kiamat) : kamu berbuat itu karena ingin dikatakan begini dan sudah dikatakan begitu (di dunia), sehingga kita pun dilempar ke neraka, ini perkara yang sangat berbahaya. Hendaklah seorang insan memohon pada Allah keikhlasan dalam perkataan dan perbuatan dia di setiap waktu, tidak ada seorang manusia pun kecuali dia lemah, tapi apabila Allah mengetahui kekuatan ikhlas, kesungguhan dan kesabaran seorang hamba, maka Allah akan memberinya taufiq, sebagaimana dalam hadits, yang artinya : "Senantiasa seorang hamba bertaqorrub kepada-Ku dengan nawafil (amalan-amalan sunnat) sehingga Aku mencintainya". [Hadits iwayat Bukhari 5/2384 no. 6137.]

Dan sebagai pelindung bagi kita dari hal itu adalah dengan memperbanyak amal shalih dan ketaatan, jangan sampai kita disibukkan oleh ilmu dan melupakan amal, karena ilmu itu sarana untuk beramal. Jika kita disibukkan oleh ilmu dan melupakan amal, maka ilmu kita itu tidak bermanfaat. Berkata Ali bin Abi Thalib radhiyallahuanhu: "Hubungilah ilmu dengan amal, jika dia menjawab (maka kebaikan untuknya) dan jika tidak, maka ilmu itu akan pergi."

Ketika kamu semakin istiqamah dalam ketaatan pada Allah, maka Allah akan melindungimu dari fitnah, jika kamu menjaga shalat, dzikir-dzikir dan amalan baik, (Allah akan melindungimu) ketika fitnah melanda manusia, dan kamu mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah. Bukankah Allah berfirman dalam hadits qudsi: Jika seorang hamba senantiasa bertaqorrub pada-Ku sehingga Aku mencintainya, maka Aku pendengarannya yang dia mendengar dengannya, pandangannya yang dia melihat dengannya, tangannya yang dia memukul dengannya, dan kakinya yang dia berjalan dengannya. Mengapa? Karena Allah melindunginya, maka setiap orang yang ingin selamat dari fitnah hendaklah memperbanyak ketaatan dan ibadah, inilah yang bermanfaat.

Demi Allah !! ilmu saja tidak akan bermanfaat. Bisa saja kamu orang yang paling alim tapi kamu terfitnah dalam agamamu karena kamu tidak bisa mengambil manfaat kecuali dengan ilmu dan fiqih dalam agama serta istiqomah dalam ketaatan. Karena itu jika kalian perhatikan, siapakah yang selamat ketika fitnah melanda ummat dan manusia? Ulamalah yang selamat, tapi apakah mereka selamat karena ilmu saja ? Tidak, mereka selamat karena mereka ahlul ibadah, Allah melindungi mereka karena ibadah, dan berjatuhanlah dalam fitnah itu para ulama-ulama suu (jelek) dan orang-orang yang berbuat karena riya, kita berlindung kepada Allah dari hal ini, karena seseorang terkadang menjadi hina disebabkan amalannya. Inilah kewajiban yang harus dilakukan oleh penuntut ilmu, untuk sungguh-sungguh melakukan ishlah, tapi sebelumnya kita harus memperbaiki diri kita, apakah kita akan mengishlah manusia sementara diri kita sakit, akankah kita memperbaiki rumah orang sementara rumah kita roboh ?

Kita perbaiki hati dan amalan kita serta selalu merasa diawasi oleh Allah, sibukkanlah diri kita dengan hal yang mendekatkan kita pada Allah, perkara itu sungguh besar, sungguh berbahaya, karena kita akan datang nanti untuk dihisab, Allah akan menghisab setiap orang apa yang ada pada dirinya Pada hari diperlihatkan seluruh rahasia (At-Thoriq)]. Akan diperlihatkan pada kita catatan amalan kita yang bagaikan gunung, kemudian dihadapkan amalan itu kepada Allah kemudian dikatakan ini (amalan) karena Allah dan ini (amalan) karena selain Allah dan tidak tersisa (dari amalan) kecuali amalan yang karena Allah.

Kita doakan saudara-saudara kita dan memohon pada Allah. Jika melihat kesalahan maka kita katakan : Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkanku dari kesalahan yang menimpa dia, dan Dia lah yang memberikan keutamaan padaku di atas kebanyakan makhluk-Nya dengan keutamaan yang besar, kita mohonkan bagi mereka hidayah dan kita melihat orang yang menyimpang itu bagaikan seorang pasien, sebagaimana kata Ibnu Taimiyah : Ahlul bid'ah itu bagaikan orang sakit, maka bolehkah kita memperolok orang yang sedang sakit badannya? Jika kita melihat orang yang buntung tangannya, apakah kita perolok ? Orang yang berakal tak akan melakukannya. Mereka (ahlul bidah) itu fitnahnya lebih besar, karena mereka diuji dalam agama mereka, kasihan mereka itu. Maka sayangilah dan kasihanilah dia, jangan kamu cela, jangan suka membicarakannya dan menyebarkan kesalahannya, tapi kita mohon pada Allah agar memberinya hidayah dan menyelamatkannya dari apa yang sedang menimpa dia, serta meminta perlindungan kepada Allah dari musibah ini.

[Diterjemahkan dari Nasehat Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily hafidzohullah, dan risalah ini disusun oleh Abu Abdirrahman Abdullah Zaen dan Abu Bakr Anas Burhanuddin dkk Mahasiswa Universitas Islam Madinah]

Selengkapnya.....

BAGAIMANAKAH SIKAP KITA TERHADAP PERSELISIHAN YANG TERJADI DI ANTARA AHLUS SUNNAH.?

Pertanyaan : 
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily Hafidzohullah ditanya : Fadhilatus Syaikh, bagaimanakah sikap kita terhadap perselisihan yang terjadi antara ikhwah salafiyyin -khususnya- perselisihan yang terjadi di Indonesia?

Jawaban : 
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat dan salam serta keberkahan semoga terlimpah atas Nabi kita Muhammad Shallallahu alaihi wasallam, keluarganya, para sahabatnya dan orang yang mengikuti petunjuk dan sunnahnya sampai hari kiaman, amma ba'du:

Sesungguhnya Kewajiban Seorang Muslim Adalah :

  1. Mengetahui al-haq dan membelanya, inilah sikap yang benar bagi seorang muslim dalam permasalahan yang diperselisihkan, baik itu masalah ilmiyah (keilmuan) ataupun masalah amaliyah (pengamalan) yang dilakukan dalam medan dakwah ataupun yang lainnya. Kewajiban seorang muslim -khususnya penuntut ilmu-, yang pertama adalah mengetahui al-haq dengan dalil-dalilnya, maka apabila terjadi perselisihan dalam suatu masalah, wajib bagi mereka untuk mempelajari ilmu syar'i yang bermanfaat untuk mengetahui yang haq dalam masalah itu. Andaikata perselisihan itu dalam masalah-masalah ilmiyah, hendaklah seorang muslim mempelajari dalil-dalilnya serta mengetahui sikap ulama dalam masalah ini, kemudian dia pun mengambil sikap yang jelas dan gamblang dalam masalah ini.
  2. Apabila perselisihan itu terjadi diantara Ahlus Sunnah, maka wajib baginya untuk bersabar terhadap ikhwan yang lain, serta tidak melakukan tindakan yang memecah belah. Walaupun kita melihat kebenaran pada salah satu pihak yang berselisih, tapi jika perselisihan itu terjadi antara Ahlus Sunnah, dimana tentunya setiap mereka menginginkan yang haq, maka wajib bagi dia untuk bersabar dalam menghadapi ikhwan yang lainnya. Kemudian jika dia mendapati salah seorang dari mereka bersalah, wajib baginya untuk bersabar dan menasehatinya. Jadi kewajiban yang pertama adalah mengetahui di pihak manakah al-haq itu berada?
  3. Kemudian dia menasehati pihak yang bersalah sambil berusaha semampunya untuk menyatukan kalimat diatas al-haq dan mendekatkan sudut pandang, kemudian berusaha untuk mengadakan ishlah antara ikhwah. Inilah perbuatan yang paling utama sebagaimana firman Allah: "Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah atau berbuat maruf atau mengadakan perdamaian diantara manusia". [An-Nisaa :114]. Maka kewajiban seorang muslim adalah untuk menjadi terwujudnya sebab perdamaian dan kunci kebaikan.
  4. Tidak melakukan tindakan yang menambah perpecahan dan perselisihan dengan menukil/ menyebarkan perkataan, tapi hendaklah memahami terlebih dahulu dan tatsabut (meneliti) perkataan dan perbuatannya.
  5. Bersikap wasath antara ahli ghuluw (berlebih-lebihan) yang menghitung (membesar­besarkan) setiap kesalahan serta menyebarkannya kepada orang banyak, bahkan mungkin menganggapnya sebagai ahlul bidah atau mengkafirkannya, dan dengan pihak lain yang mutasaahilin (terlalu bermudah-mudahan/meremehkan), yang tidak membedakan antara yang haq dengan yang bathil. Maka selayaknya dia menjadi orang yang berfikir dan berusaha mempersatukan ikhwah serta mendekatkan sudut pandang mereka diatas al-haq, tapi bukan berarti ini adalah mudahanah, tapi maksudnya adalah untuk mendekatkan sudut pandang antara ikhwah di atas al-haq, serta menasehati yang bersalah, juga menasehati pihak yang lain untuk bersabar dan menahan diri. Inilah manhaj Ahlus Sunnah dan sikap mereka terhadap ikhwah.
  6. Jika dia menjauhkan diri dari perselisihan yang terjadi karena dia memandang dalam perselisihan itu terdapat fitnah dan kejelekan, maka sikap ini lebih baik, dan usaha dia adalah hanya untuk mendamaikan, bukan malah menjadi pemicu perselisihan, tapi justru menjauhi perselisihan.
  7. Jika dia melihat yang al-haq berada pada salah satu pihak, maka hendaklah di berlaku adil dalam menghukumi pihak yang lain, karena inilah sikap seorang muslim. Adapun perselisihan yang terjadi di Indonesia -sepengetahuan saya- adalah perselisihan antara ikhwah dalam masalah-masalah -yang kita anggap insya Allah- setiap pihak yang berselisih menginginkan yang haq, khususnya mereka itu termasuk Ahlus Sunnah, tapi tidak setiap yang menginginkan al-haq itu akan diberi taufik untuk mendapatkannya, sebagaimana tidak setiap kesalahan itu disengaja. Terkadang seseorang berbuat kesalahan tanpa sengaja, padahal dia menginginkan al-haq, tapi barangkali karena kurangnya pengetahuan dia dalam suatu segi tertentu sehingga diapun jatuh dalam perselisihan dan kesalahan, maka hendaknya kita bersabar atas mereka serta mengakui kebaikan dan keutamaan mereka.

Tidaklah pantas sikap kita terhadap sesama Ahlus Sunnah itu seperti sikap kita terhadap Ahlul Bidah yang menyeleweng dalam masalah aqidah dan yang lainnya, karena Ahlus Sunnah mempunyai satu jalan dan satu manhaj, tapi terkadang berbeda sudut-pandang mereka, maka hendaklah bersabar dan menahan diri serta berusaha untuk mendamaikan antara ikhwah. Kemudian seorang thalibul ilmi mengusahakan dirinya agar tidak menjadi sebab bertambahnya perselisihan, bahkan seharusnya dia menjadi sebab terjadinya penyatuan kalimat diatas al-haq. Jika dia bersikap seperti itu, maka dia akan tetap berada diatas kebaikan. Kita memohon kepada Allah agar memberikan taufiq pada semua.

[Diterjemahkan dari Nasehat Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily hafidzohullah, dan risalah ini disusun oleh Abu Abdirrahman Abdullah Zaen dan Abu Bakr Anas Burhanuddin dkk Mahasiswa Universitas Islam Madinah]

Selengkapnya.....

BILAKAH DIAKUINYA PERBEDAAN PENDAPAT

Pertanyaan :
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Kapan diakuinya perbedaan pendapat dalam masalah agama ? Apakah perbedaan pendapat terjadi pada setiap masalah atau hanya pada masalah-masalah tertentu? Kami mohon penjelasan.

Jawaban :
Pertama-tama perlu diketahui, bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama umat Islam ini adalah yang terlahir dari ijtihad, karena itu, tidak membahayakan bagi yang tidak mencapai kebenaran. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda. yang artinya : "Jika seorang hakim memutuskan lalu berijtihad, kemudian ia benar, maka ia mendapat dua pahala. Dan jika ia memutuskan lalu berijtihad kemudian salah, maka ia mendapat satu pahala." [Hadits Riwayat Al-Bukhari dalam Al-I'tisham (7325)]. Maka, bagi yang telah jelas baginya yang benar, maka ia wajib mengikutinya.

Perbedaan pendapat yang terjadi di antara para ulama umat Islam tidak boleh menyebabkan perbedaan hati, karena perbedaan hati bisa menimbulkan kerusakan besar, sebagaimana firman Allah, yang artinya : "Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." [Al-Anfal : 46]

Perbedaan pendapat yang diakui oleh para ulama, yang kadang dinukil (dikutip) dan diungkapkan, adalah perbedaan pendapat yang kredibel dalam pandangan. Adapun perbedaan pendapat di kalangan orang-orang awam yang tidak mengerti dan tidak memahami, tidak diakui. Karena itu, hendaknya orang awam merujuk kepada ahlul ilmi, sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang artinya : "Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." [An-Nahl : 43]

Kemudian pertanyaan penanya, apakah perbedaan ini terjadi dalam setiap masalah? Jawabnya: Tidak demikian. Perbedaan ini hanya pada sebagian masalah. Sebagian masalah disepakati, tidak ada perbedaan, alhamdulillah, tapi sebagian lainnya ada perbedaan pendapat karena hasil ijtihad, atau sebagian orang lebih tahu dari yang lainnya dalam menganalisa nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah. Di sinilah terjadinya perbedaan pendapat. Adapun dalam masalah-masalah pokok, sedikit sekali terjadi perbedaan pendapat.

[Dari Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin yang beliau tanda tangani, disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, Darul Haq]

Selengkapnya.....

DHOWABITH [BATASAN-BATASAN] PERSELISIHAN YANG DIPERBOLEHKAN DAN YANG TIDAK DIPERBOLEHKAN

Pertanyaan :
Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily Hafidzohullah ditanya : "Fadilatus Syaikh,...kami berharap agar Anda menjelaskan dhowabith (batasan-batasan) perselisihan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, maksudnya adalah : Perselisihan yang tidak mengeluarkan orang yang berselisih tersebut dari lingkup Ahlus Sunnah..?

Jawaban :
Perkara yang diperbolehkan perselisihan didalamnya adalah : Permasalahan yang diperselisihkan oleh Ahlus Sunnah. Ada beberapa masalah yang diperselisihkan oleh sebagian orang yang menisbahkan dirinya kepada sunnah di dalam masalah-masalah yang ma'lum. Sebagaimana telah terjadi perselisihan dikalangan Salafus Shalih dalam masalah tersebut. Seperti perselisihan mereka dalam masalah "apakah ahlul mahsyar (pada hari kiamat) melihat Rabb atau tidak?", apakah yang melihat Rabb itu kaum mukminin saja atau kaum munafiqun pun melihat-Nya juga, atau ahli mahsyar semuanya?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyebutkan bahwa ini adalah perselisihan antara Ahlus Sunnah yang tidak mengakibatkan orang yang berselisih dihukumi sebagai Ahlul Bid'ah. Inilah kaidah asalnya. Maka setiap permasalahan yang diperselisihkan oleh Salaf, seperti perselisihan mereka tentang "hukum orang yang meninggalkan shalat", juga perselisihan mereka tentang "kafir tidaknya orang yang meninggalkan salah satu rukun Islam setelah dia menyakininya" dan perselisihan mereka tentang "orang yang meyakini rukun Islam kemudian dia meninggalkan salah satunya karena malas", semua permasalahan ini menjadi perselisihan dikalangan ulama Ahlus Sunnah, maka orang yang berpendapat dengan salah satu pendapat mereka tidaklah dihukumi sebagai Ahlul Bid'ah, walaupun kita yakin bahwa al-haq itu berada pada salah satu pendapat dari para ahli ijtihad, karena al-haq itu tidak mungkin berbilang, akan tetapi kita memberikan udzur (ma'af) pada ikhwah kita yang berpendapat dengan pendapat yang ada pendahulunya dari Salaf, inilah batasan perselisihan yang diperbolehkan.

Adapun sekarang, kebanyakan penuntut ilmu tidak mengetahui al-haq dalam banyak masalah, terkadang ada sebagian Ahlus Sunnah atau yang menisbatkan dirinya kepada sunnah berpendapat dengan sebagian pendapat Ahlul Bid'ah. Maka orang tersebut jika sunnah lebih dominan pada dirinya, maka -secara umum- dia termasuk Ahlus Sunnah. Dia berijtihad untuk mengetahui al-haq, dia mengambil dalil dari nash-nash dan menghargai ucapan ulama Salaf, mencintai Ahlus Sunnah dan ulamanya dan berusaha untuk mengetahui yang haq, kemudian dia berijtihad dan salah dalam ijtihadnya maka dia diberi udzur (dimaafkan) bagaimanapun kesalahan dia. Disini terkadang kita bisa mensifatinya dengan "kurang ilmu", tapi tidak mengeluarkan dia dari Ahlus Sunnah, karena yang namanya kesempurnaan adalah kesempurnaan dalam ilmu, amal dan mutaba'ah. Mereka menginginkan yang haq tapi terkadang terbatas ilmunya, maka terkadang pendapatnya sesuai dengan sebagian pendapat Ahlul Bid'ah atau yang lainnya, padahal bukanlah tujuan mereka adalah menyepakati Ahlul Bid'ah, hanya saja mereka menyangka bahwa itulah yang benar. Maka orang semacam ini bisa kita sifati sebagai orang yang punya kekurangan dalam ilmunya, tapi jangan dihukumi sebagai Ahlul Bid'ah, karena mereka menginginkan yang haq tapi salah dalam memahami nash.

Kaidah dalam masalah ini adalah bahwa setiap orang yang berijtihad berdasarkan pokok-pokok (tata cara) ijtihad Ahlus Sunnah dalam mengambil dalil, kemudian dia salah dalam ijtihadnya, maka kesalahannya tersebut dima'afkan -insya Allah, dan tidak boleh orang tersebut dinisbahkan kepada bid'ah, karena sebagaimana kalian ketahui bahwa sebagian ahlus sunnah terdahulu ada yang menyepakati sebagian pendapat Ahlul Bid'ah, seperti murjiatul fuqoha dan sebagian mereka juga ada yang berpendapat sesuai dengan pendapat sebagian asyariyyah dalam beberapa penakwilan-penakwilan mereka atau menyeleweng dalam sebagian masalah qodar, maka mereka ini bersesuaian dengan Alul Bid'ah di dalam perkataan-perkataan mereka, tapi mereka tidak dinisbatkan kepada bid'ah, karena mereka pada dasarnya diatas pokok-pokok aqidah ahlus sunnah.

Orang yang hidup zaman sekarang khususnya penuntut ilmu atau orang yang hidup di negara yang jauh dari ulama, terkadang terjerumus dalam kesalahan yang betul-betul fatal, yang mana kesalahan itu bukan dalam masalah yang diperselisihkan oleh Ahlus Sunnah, tapi jika mereka termasuk Ahlus Sunnah, maka kita berikan udzur (maaf) dalam kesalahannya. Bukan karena kesalahan mereka sepele atau ringan, tapi karena mereka berijtihad untuk mengetahui yang haq dan itulah hasil dari ijtihadnya. Tapi tentunya merekapun wajib untuk belajar, dan kita nasehati agar kembali pada para ulama dan mengambil pendapatnya dalam rangka menghilangkan perselisihan.

[Diterjemahkan dari Nasehat Syaikh Ibrahim bin Amir Ar-Ruhaily hafidzohullah, dan risalah ini disusun oleh Abu Abdirrahman Abdullah Zaen dan Abu Bakr Anas Burhanuddin dkk Mahasiswa Universitas Islam Madinah]

Selengkapnya.....

ETIKA BERBEDA PENDAPAT

Pertanyaan :

Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Syaikh yang terhormat, banyak perbedaaan pendapat yang terjadi di antara para aktivis dakwah yang menyebabkan kegagalan dan sirnanya kekuatan. Hal ini banyak terjadi akibat tidak mengetahui etika berbeda pendapat. Apa saran yang Syaikh sampaikan berkenan dengan masalah ini ?

Jawaban :

Yang saya sarankan kepada semua saudara-saudara saya para ahlul ilmi dan praktisi dakwah adalah menempuh metode yang baik, lembut dalam berdakwah dan bersikap halus dalam masalah-masalah yang terjadi perbedaan pendapat saat saling mengungkapkan pandangan dan pendapat. Jangan sampai terbawa oleh emosi dan kekasaran dengan melontarkan kalimat­kalimat yang tidak pantas dilontarkan, yang mana hal ini bisa menyebabkan perpecahan, perselisihan, saling membenci dan saling menjauhi. Seharusnya seorang da’i dan pendidik menempuh metode-metode yang bermanfaat, halus dalam bertutur kata, sehingga ucapannya bisa diterima dan hati pun tidak saling menjauhi, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada NabiNya Shallallahu ‘alaihi wa sallam,yang artinya : "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.” [Ali-Imran : 159]

Allah berfirman kepada Musa dan Harun ketika mengutus mereka kepada Fir’aun, yang artinya : "Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut.” [Thaha : 44]

Dalam ayat lain disebutkan, yang artinya : "Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” [An-Nahl : 125]

Dalam ayat lain disebutkan, yang artinya : "Dan janganlah kamu berdebat dengan ahli kitab, melainkan dengan cara yang paling baik, kecuali dengan orang-orang zhalim di antara mereka.” [Al-Ankabut : 46]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya : "Sesungguhnya, tidaklah kelembutan itu ada pada sesuatu kecuali akan mengindahkannya, dan tidaklah (kelembutan itu) luput dari sesuatu kecuali akan memburukkannya.” [Hadits Riwayat Muslim dalam Al-Birr wash Shilah : 2594]

Beliaupun bersabda, yang artinya : "Barangsiapa yang tidak terdapat kelembutan padanya, maka tidak ada kebaikan padanya.” [Hadits Riwayat Muslim dalam Al-Birr wash Shilah : 2592]

Maka seorang da’i dan pendidik hendaknya menempuh metode-metode yang bermanfaat dan menghindari kekerasan dan kekasaran, karena hal itu bisa menyebabkan ditolaknya kebenaran serta bisa menimbulkan perselisihan dan perpecahan di antara sesama kaum muslimin. Perlu selalu diingat, bahwa apa yang anda maksudkan adalah menjelaskan kebenaran dan ambisi untuk diterima serta bermanfaatnya dakwah, bukan bermaksud untuk menunjukkan ilmu anda atau menunjukkan bahwa anda berdakwah atau bahwa anda loyal terhadap agama Alah, karena sesungguhnya Allah mengetahui segala yang dirahasiakan dan yang disembunyikan. Jadi, yang dimaksud adalah menyampaikan dakwah dan agar manusia bisa mengambil manfaat dari perkataan anda. Dari itu, hendaklah anda memiliki faktor-faktor untuk diterimanya dakwah dan menjauhi faktor-faktor yang bisa menyebabkan ditolaknya dan tidak diterimanya dakwah. [Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Mutanawwiah, Juz 5, hal.155-156, Syaikh Ibnu Baz]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, hal 198-200 Darul Haq]

Selengkapnya.....

MEMAHAMI PERSELISIHAN PENDAPAT MENURUT AL-QUR'AN, SUNNAH DAN MANHAJ SALAF SHALIH

Ikhtilaf memiliki beberapa makna yang saling berdekatan, diantaranya ; tidak sepaham atau tidak sama. Anda bisa mengatakan khalaftuhu-mukhalafatan-wa khilaafan atau takhaalafa alqaumi wakhtalafuu apabila masing-masing berbeda pendapat dengan yang lainnya. Jadi ikhtilaf itu adalah perbedaan jalan, perbedaan pendapat atau perbedaan manhaj yang ditempuh oleh seseorang atau sekelompok orang dengan yang lainnya.

Kaidah-Kaidah Untuk Memahami Ikhtilaf [Perselisihan Pendapat] :

(1). Ikhtilaf Adalah Perkara Yang Kauni (Sunnatullah), Sedangkan Mencegahnya Merupakan Perkara Yang Syar'i. Dengan kehendak dan hikmah-Nya yang tepat, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menakdirkan ummat ini berpecah belah sebagaimana halnya (kaum) ahli kitab sebelumnya telah berpecah belah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya : "Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa beselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu, Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka." [Hud : 118-119]. Dan dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya : "Kaum Yahudi terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, kaum Nashara terpecah menjadi 71 atau 72 golongan, dan umatku akan terpecah menjadi 73 golongan" [Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Tirmidzi, Abu Daud, Ahmad dan lainnya]

Dalam suatu riwayat :

"Mereka semua di neraka kecuali satu millah, para shahabat bertanya : "siapakah dia ya Rasulullah ?" beliau menjawab : "(yaitu) orang-orang yang berada diatas jalanku dan shahabatku"

Dari Abu Sa'id Al-Khudri Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, yang artinya : "Sungguh kalian pasti akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kamu, jengkal demi jengkal, hasta demi hasta sehingga seandainya mereka masuk kedalam lubang biawak, kalian pasti akan memasukinya (juga). Para shahabat bertanya : "Wahai Rasulullah, Yahudi dan Nashara-kah?". Beliau menjawab : "Siapa lagi ?" [Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim]

Meskipun perpecahan ini terjadi sesuai dengan sunatullah yang kauni, namun (sebenarnya) Allah melarang terjadinya perpecahan ini dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi-Nya, memerintahkan supaya berpegang teguh pada jalan Firqatun Naajiyah Al-Manshurah (kelompok yang mendapat pertolongan), dan memberikan tanda-tanda pada golongan ini sehingga orang yang ikhlas hatinya dalam mencari kebenaran tidak akan tersesat (salah pilih).

Ada sebagian orang yang meragukan keabsahan hadist iftiraq (perpecahan) ini, akan tetapi orang yang betul-betul memperhatikan jalur-jalur periwayatannya akan memastikan keabsahannya, terutama karena di sana terdapat hadits-hadits shahih yang masyhur yang menerangkan tentang keserupaan umat ini dengan umat-umat sebelumnya. Diantaranya yang paling menonjol ialah tentang fenomena munculnya iftiraq (penyimpangan) dari manhaj yang haq. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melarang tasyabbuh (menyerupai umat-umat terdahulu) ini dengan firman-Nya, yang artinya : "Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat" [Ali Imran : 105]

Al-Hafizh Ibnu Katsir Rahimahullah berkata : "Allah Subhanahu wa Ta'ala telah melarang umat ini menyerupai umat-umat yang telah lewat dalam iftiraq (perpecahan) dan ikhtilaf (perselisihan) mereka dan dalam meninggalkan amar ma'ruf serta nahi mungkar, setelah hujjah tegak atas mereka" [Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim I/390]

Allah berfirman, yang artinya : "Janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka" [Ar-Ruum : 31-32]

Syaikh As-Sa'di berkata : "Padahal agama ini hanya satu yaitu memurnikan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, lalu orang-orang musyrik ini memecah-mecahnya, diantara mereka ada yang menyembah berhala dan patung, ada yang menyembah matahari dan bulan, ada yang menyembah para wali dan orang-orang shaleh, ada yang Yahudi dan ada yang Nasharani". Oleh karenanya Allah berfirman : [wakanuu syiyaan] maksudnya masing-masing golongan membentuk kelompok dan membuat ta'ashub (fanatisme) untuk membela kebathilan yang ada pada mereka, dan menyingkirkan serta memerangi kelompok lainnya. [kullu khizbin] masing-masing kelompok. [bimaa ladaiyhim] dengan ilmu (nya masing-masing) yang menyelisihi ilmunya para rasul, [farihuun] berbangga.

Dengan sikap ini, masing-masing mereka menghukumi bahwa kelompoknyalah yang benar, sedangkan kelompok lain berada dalam kebathilan. Disini terdapat peringatan bagi kaum muslimin agar tidak bercerai berai dan berpecah belah menjadi firqah-firqah, dimana masing­masing firqah bersikap fanatik terhadap apa yang ada pada mereka, baik berupa kebenaran maupun kebatilan.

Sehingga (dengan perpecahan ini -pent) jadilah kaum muslimin bertasyabbuh (serupa) dengan orang-orang musyrik dalam hal perpecahan. Padahal dien (agama) ini satu, rasulnya satu, sesembahannya satu, kebanyakan persoalan dien (agama) pun telah ijma diantara para ulama dan para imam, dan ukhuwah Imaniyah juga telah diikat oleh Alllah dengan sesempurna­sempurnanya ikatan, kenapa semua itu di sia-siakan ? Malahan dibangun perpecahan diantara kaum muslimin, dibangun masalah-masalah yang samar atau (dia bangun persoalan-persoalan) furu' khilafiyah, yang (atas dasar itu kemudian) sebagian kaum Muslimin menganggap sesat sebagian lainnya, dan masing-masing menganggap dirinyalah yang istimewa dibanding yang lain. tidak lain ini merupakan godaan setan yang terbesar, dan merupakan tujuan setan paling utama untuk memperdaya kaum muslimin?. [Tafsir Al-Karim Ar-Rahman fi Tafsir Kalam Al-Manaan]

[Baca Lanjutannya di Bagian Ke - 2, Klik Disini Untuk Melanjutkan - Click Here]

Selengkapnya.....

 

Pengikut

Recent Comments